Sejarah pencinta alam Kota Makassar,
ataupun Sulawesi Selatan diawali
dengan terbentuknya Mountain Climber Association – Libra Double Cross
(LDC) Makassar yang berdiri pada tanggal 10 Oktober 1969 [milad ke-41
bertepatan tanggal 10-10-2010 di Pantai Akkarena Tanjung Bunga].
Pendirinya antara lain Alm. Azis Longgari (L. 001), Rudy Muchtady (L.
005), Muchtar Freddy, Papas, Makmur dll. Berselang beberapa waktu,
mulailah bermunculan Club-Club pendaki gunung lainnya seperti Gembel
(Syahrul YL), Antariksa (Ilham A. Sirajuddin), Pathandos, Black Cats,
dan Egos.
Kegiatan pendakian gunung yang mereka lakukan
masih di sekitaran Sulawesi, seperti di Bawakaraeng, Lompobattang,
Bulusaraung, dan Latimojong. Pemberian Kartu Anggota bagi peminat yang
ingin masuk di klub-klub tersebut harus diserah-terimakan di puncak
gunung-gunung tersebut. Sesuai dengan informasi via internet dari
Arifin Rauf (GM Istimewa PAL-FAHUT UNHAS) dan Rahmat Zainuddin (pendiri
Kalpataru Smansa) basecamp pendaki pertama-tama di jalur Gunung
Bawakaraeng adalah sebuah rumah di Kampung Beru yang dijadikan tempat
melapor jika hendak naik ke Bawakaraeng. Jalur Lembanna dibuka oleh
LDC, karena sebelumnya penduduk naik lewat Lombasang. Perjalanan ke
Bawakaraeng dulu tidak semudah sekarang. Dulu di era `60 sampai awal
70-an, Bawakaraeng bisa ditempuh berhari-hari karena hutannya yang
lebat yang dapat membuat orang tersesat, ditambah lagi kita harus sudah
mulai trekking dari Kota Malino, sebab belum ada kendaraan yang sampai
ke Kampung Beru. Sekitar tahun 1976, mulai terjadi perpindahan
sebagian penduduk Kampung Beru dan Bulu’ Ba’lea ke sebuah kawasan
perkebunan sayur di sebelah barat daya, yang kemudian di sebut Lembanna
[sekitar tahun 2005, kawasan ini diklaim oleh oknum TNI sebagai
miliknya namun mentah di pengadilan]. Perpindahan ini menyebabkan
berpindahnya pula basecamp pendakian dari Kampung Beru ke Kampung
Lembanna hingga saat ini.
Klub-Klub tahun 70-an, selain
melakukan kegiatan mendaki gunung, juga melakukan berbagai aktifitas
lain. Otomotif, band dan olahraga adalah salah satunya. Tak jarang juga
mereka long-march melintasi propinsi, seperti dikutip di TEMPO ONLINE
bertanggal 17 Februari 1973:
….Bila masa liburan tiba,
remaja-remaja ini ramai-ramai berlomba jalan jauh atau mendaki gunung.
Dalam surat keterangan yang diberikan disebutkan, dilarang minta
bantuan, kecuali kalau memang terpaksa sekali. Kalau ada keluhan dari
sementara daerah yang mereka lewati, itu kesalahan para pejabat
sendiri, kenapa mau memberi bantuan. Sampai kini sudah ada 11 club
jalankaki jarak jauh ke Menado dari Ujung Pandang, melewati hutan
belukar dan berkenalan dengan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah.
Jarak yang cukup jauh bagi pejalan kaki, mereka tempuh dalam 2 bulan.
Kini ada di antara mereka yang masih dalam perjalanan….
Pada
Mei 1972, sudah terbentuk Badan Kerja Sama Club-club Antar Remaja
Pencinta Alam se-Ujung Pandang, dengan anggota 2000 orang yang berumur
rata-rata 15-25 tahun. Semula hanya 36 club bergabung. Akhir tahun 1972
menjadi 164. Dan mungkin karena bosan, jumlah ini menyusut tinggal
separo pada awal 1973. Badan Kerja Sama dibentuk dengan susunan
kepengurusan: Ketua Umum, AKBP Andi Amdurrachman (Komandan Kepolisian
Kota Besar Ujung Pandang); Ketua Pelaksana, Kompol Drs Arief Wangsa;
serta Ketua I Azis Longgari. Kepengurusan dipimpin oleh polisi-polisi
karena Club-club tidak mau dipimpin anggota club lain, karena mereka
bersaing satu sama lain.[Tempo Online.17 Feb.1973]
Cikal Bakal Pendakian Gunung di Jawa.
Kegiatan
mendaki gunung di Jawa sebagai kegiatan pemuda, sudah dimulai sejak
tahun 50-60an, ditandai dengan terbentuknya Perhimpoenan Petjinta Alam
(1953) di Jogja [artikel Norman Edwin, Majalah Mutiara 20 Juni-3 Juli
1984], Ikatan Pentjinta Keindahan Alam – Indrakila (1955) di Malang,
serta yang fenomenal adalah terbentuknya Wanadri di Bandung serta
Mapala Pradnya Paramitha di Jakarta (cikal bakal Mapala UI) tahun 1964.
Pendakian Gunung Semeru, Slamet, Gede-Pangrango dan lain-lain mulai
ramai oleh klub-klub pendaki tersebut. Bahkan, mereka cenderung
berlomba-lomba menaklukkan puncak-puncak gunung.
Agustus
1967, Mapala Pradnya Paramitha UI dibawah pimpinan Soe Hok Gie mencapai
puncak Gn Slamet (3422 mdpl). Padahal sebelumnya Junghunh (ahli
biologi kebangsaan Belanda) mendaki dengan tangan merangkak ke
puncaknya, dan Wanadri ditemani rombongan RPKAD yang mendaki dari lereng
selatan, membutuhkan waktu 11 jam tanpa henti. [Zaman
Peralihan.2005-So Hok Gie & Kompas 14,15,16,18 sep 1967].
Tahun
1970, Top Mountain Stranger – 7 (TMS-7) Malang melalui Karangploso,
lebih dulu mencapai puncak Gn Arjuno dari pada Young Pioneers Mountain
Climber – Malang yang naik dari Sumberbrantas Cangar.
Persaingan-persaingan seperti ini sangat keras di kalangan Club Pendaki
Gunung di era 60-70an walaupun persaudaraan tetap erat. [Bersama Alam
Kami Berhimpun-YEPE.2009 hal. 144]
Kecelakaan pertama di
dunia pendakian gunung di Jawa, dialami oleh Soe Hok Gie dan Idhan
Lubis (Mapala UI) pada Desember 1969 di Puncak Mahameru, diikuti oleh
Soebijanto dan Tony Wahyu (Young Pioneer Malang) pada Februari 1972 di
Gunung Ayek-Ayek yang masih di dalam lokasi Pegunungan Semeru. [Bersama
Alam Kami Berhimpun-YEPE.2009]
Gladian Nasional – Wanadri.
Februari
1970 tepatnya tanggal 25 – 29, Wanadri menyelenggarakan GLADIAN yang
bertujuan meningkatan kemampuan anggotanya dalam bidang petualangan.
Bertempat di Tebing Citatah Jawa Barat, peserta Gladian pertama dominan
anggota-anggota Wanadri sendiri, namun dari Jawa Timur diundang khusus
2 (dua) perhimpunan yaitu, TMS-7 Malang dan Kapuronto Fakultas Hukum
UNAIR Surabaya. Melalui forum inilah Gladian berikutnya dikonsep
menjadi ajang nasional, dan TMS-7 siap menjadi penyelenggaranya di
Malang. Penyelenggaraannya diputuskan satu tahun terhitung tanggal
penyelenggaraan Gladian I di Citatah, berarti paling lambat Februari
1971. Maka segeralah dibentuk Panitia Lokal di Malang yang diberi nama
Badan Kontak Pencinta Alam Malang yang menurut usulan Kol. (inf)
Soewandi (Komandan KODIM Malang) sebaiknya melibatkan organisasi sejenis
yang pada saat itu sudah ada di Malang, a.l IPKA-Indrakila (1955),
Young Pioneers (1969), Adventurer & Mountain Climbers (1969), dan
TMS-7 sendiri. Namun di kemudian hari IPKA-Indrakila menyerahkan
sepenuhnya penyelenggaraan kepada organisasi-organisasi yang lebih muda
tersebut (pasrah bongkokan), dan Young Pioneers mengundurkan diri dan
tak bersedia mengikuti Gladian Nasional ke-II tersebut. Akhirnya setelah
tiba saatnya, penyelenggaraan Gladian Nasional II yang dipusatkan di
wilayah Batu-Malang berjalan dengan sukses dan dihadiri banyak
perhimpunan pendaki gunung a.l. Wanadri Bandung (Mas Is, Rony Kebo,
Saryanto Sarbini, Mas Pendi), Extemasz Bandung (Djoni Djanaka), bahkan
Rinjani Arga Club dari Mataram dan Pencinta Alam SMA 1 Denpasar juga
hadir. Pada Gladian ini telah dirumuskan konsep Kode Etik Pencinta Alam,
yang pada akhirnya disempurnakan pada Gladian ke-IV di Ujung Pandang.
[TMS-7—Mitra Kelana.24 Agt 2007]. Pada bulan Desember 1972, kembali
diadakan Gladian Nasional ke-III. Kali ini diadakan oleh Badan
Koordinasi Pencinta Alam dan Penjelajah Alam se-Jakarta, bertempat di
Pantai Carita, Labuhan, Jawa Barat.
Gladian Nasional ke-IV.
Pada
kesempatan Gladian Nasional ke-III di Pantai Carita, Azis Longgari
dengan beberapa teman dari Mountain Climber Association – Libra Double
Cross Makassar mempersiapkan diri untuk hadir. Namun di dalam
perjalanan, tidak diketahui apakah sebelum atau setelah mengikuti
Gladian tersebut, Azis Longgari tewas akibat jatuh dari atap kereta di
dekat Cirebon Jawa Barat dalam usahanya mengikuti Gladian tersebut. Duka
cita yang mendalam bagi dunia pencinta alam di Makassar, apalagi
Gladian berikutnya akan dilaksanakan di Ujung Pandang pada akhir 1973.
Azis Longgari dikenal sebagai pioneer pendakian gunung di Makassar
bahkan Sulawesi Selatan. Beliau bahkan sudah menaklukkan Gn Kinabalu
(14000 kaki) di Malaysia Timur, bahkan konon yang pertama dari Indonesia
[Tempo Online.17 Feb.1973, juga diskusi via internet dengan Rahmat
Zainuddin, pendiri Kalpataru Smansa].
Penyelenggaraan
Gladian Nasional ke-IV di Ujung Pandang yang seharusnya pada akhir
1973, molor sampai Januari 1974. Pelaksanaannya bertempat di Pulau
Khayangan dan Tana Toraja, dan dihadiri oleh 44 perhimpunan pendaki
gunung seluruh Indonesia. Hal ini pula yang mengakibatkan jadwal
Gladian setelahnya sering molor. Pada Gladian ke-IV ini, Kode Etik
Pencinta Alam yang sempat dirumuskan di Gladian Nasional ke-II di Batu
Malang, disempurnakan dengan teks sebagai berikut :
CODE ETIK PENTJINTA ALAM INDONESIA
“ PENTJINTA ALAM INDONESIA SEDAR BAHWA ALAM BESERTA ISINJA ADALAH TJIPTAAN TUHAN JANG MAHAESA “
“PENTJINTA
ALAM INDONESIA SEBAGAI BAHAGIAN DARI MASJARAKAT INDONESIA SEDAR AKAN
TANGGUNG DJAWAB KAMI KEPADA TUHAN, BANGSA DAN TANAH AIR ”
”
PENTJINTA ALAM INDONESIA SEDAR BAHWA PENTJINTA ALAM ADALAH SEBAHAGIAN
DARI MACHLUK JANG MENTJINTAI ALAM SEBAGAI ANUGRAH TUHAN JANG MAHA ESA “
Sesuai dengan hakikat di atas kami dengan kesedaran menjatakan :
1. Mengabdi kepada Tuhan Jang Maha Esa.
2. Memelihara alam beserta isinja serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannja.
3. Mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air.
4. Menghormati tata kehidupan jang berlaku pada masjarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnja.
5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pentjinta alam sesuai dengan azas pentjinta alam.
6. Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah air.
7. Selesai.
Disjahkan bersama dalam
GLADIAN IV – 1974
Di Oejoeng Pandang
Bunga Rampai Pencinta Alam Ujung Pandang.
Era
80-an club-club pendaki banyak bubar, namun beberapa masih berusaha
untuk bertahan. Pada 15-19 Mei 1980 di Leang-Leang Maros diadakan
Jambore Variasi – Remaja Pencinta Alam & Pendaki Gunung
se-Indonesia. Sempat diketahui bahwa Libra Double Cross terlibat sebagai
panitia local, melalui Piagam Penghargaan atas nama Deddy a.k.a Nurdin
Macca (L.039), yang ditanda tangani oleh Syariefuddin Makaritutu
(Ketua Panitia) dan Yudhistira Alexander (Sekertaris). Hal ini
membuktikan eksistensi LDC masih ada sampai tahun tersebut.
Pada
era ini pula, dibentuk Himpunan Pencinta Alam (HIPALA) Sul-Sel, yang
menghimpun seluruh organisasi yang ada di Makassar dan sekitarnya.
HIPALA dipimpin oleh alm. Andi Baso Amri (anggota Paspampres). Kegiatan
besar yang mereka lakukan pada saat itu adalah Bawakaraeng Trail
(pendakian massal ke Bawakaraeng), dan kegiatan ini bertahan sampai
Bawakaraeng Trail IV. Di basecamp pendaki Kampung Beru pada saat itu,
ada plang HIPALA Sul-Sel yang bertuliskan “Medan Bawakaraeng Trail Milik
HIPALA Sul-Sel, Selamat Mendaki, Tabah Sampai Akhir dalam Keyakinan”
dan yang satunya bertuliskan “Puncak Gunung Bawakaraeng Milik HIPALA
Sul-Sel/Pencinta Alam Indonesia”. Menurut Chaidir Manan (Bang Herman)
anggota LDC paling terakhir [pada saat diskusi lepas di Aksi Bersih
Pantai FPL Makassar, Januari 2010], pembentukan HIPALA merupakan bentuk
control pemerintah terhadap pencinta alam, karena potensi besarnya
untuk melakukan pergerakan massif kontra Orde Baru. Terlepas dari itu,
bahwa HIPALA Sul-Sel telah turut mewarnai perjalanan aktifitas pencinta
alam di Makassar.
Pada masa yang hampir bersamaan,
muncul 2 (dua) kelompok pencinta alam yaitu Kharisma Nolsatu
Bawakaraeng (di kemudian hari berganti nama menjadi Kharisma Indonesia –
Serikat Cinta Alam/KISCA), yang digawangi oleh Guntur Saputra, Umar
Arsal, Asmin Amin, Kamran dll., dan Ikatan Pencinta Lingkungan Hidup –
Mattoanging (IPLH-Mattoanging), yang dibesut oleh Maladi, Maxi, Angky,
Amir dll. Kharisma lahir di SMA 1 Makassar (SMANSA), karena seluruh
pendirinya adalah siswa SMANSA. Namun pada saat banyak anggotanya telah
lulus pada tahun 1982, maka Kharisma dibawa keluar dari SMANSA oleh
anggotanya dan bersekertariat di Jln. Bontolempangan (kediaman Guntur).
Berbagai prestasi mereka torehkan pada zamannya. IPLH sering juara
lomba kebut gunung, sedangkan Kharisma lewat anggotanya Kamran, menjadi
pelopor Rock Climbing di Makassar. Kharisma juga patut diacung jempol
atas penemuan beberapa gua di Maros dan Lembah Kharisma di jalur
perlintasan Gn Lompobattang-Gn Bawakaraeng. Kedua organisasi tersebut
turut membidani lahirnya beberapa Mapala dan KPA (termasuk Mapala UMI
pada tahun 1981, sebagai Mapala tertua di Makassar) [diskusi via
internet dengan Rahmat Zainuddin, pendiri Kalpataru]. Era berikutnya
lahir Chipipa’X (Cinta Hidup Ikrar Pemuda Indonesia Pencinta Alam
“Sepuluh Oktober”) didirikan oleh Andi Idham, Andi Ilham dll, yang juga
merupakan barometer pencinta alam pada zamannya.
Pada 10
Oktober 1982, sekelompok siswa SMANSA mendaki puncak Bawakaraeng.
Mereka bertujuan mendirikan organisasi pencinta alam bagi siswa-siswi
SMANSA, karena wadah sebelumnya sudah tidak ada lagi (Kharisma sudah
dibawa keluar). Kemudian lahirlah KPA Kalpataru SMANSA Ujung Pandang
sebagai bond Siswa Pencinta Alam tertua di Makassar. Pendirinya a.l.
Rahmat Zainuddin, Yusran Palengkey, Adhe Syumaatmadja, Nanang Achsan,
Nuralam Parjono, Fachruddin, Aditya, Eko, Asrul Yani, Yani Abidin,
Syamsuddin, Adam Andi Oemar, Jefry dll.